BADAN PENYELIDIK
USAHA PERSIAPAN KEMERDEKAAN
INDONESIA
Sidang Pertama
Rapat besar
tanggal 1 Juni
1945
Waktu : (Pro memorie)
Tempat: Gedung Pejambon (d.h.
Gedung Tyuuoo Sangi-In
Jakarta)
Acara
:
Pembicaraan
tentang Dasar Negara Indonesia (lanjutan)
Ketua : Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat
Anggota
SOEKARNO :
Paduka Tuan Ketua yang mulia!
Sesudah tiga hari
berturut-turut
anggota-anggota Dokuritsu
Zyunbi
Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya,
maka sekarang saya mendapat kehormatan
dari Paduka Tuan Ketua yang mulia
untuk mengemukakan
pula
pendapat saya.
Saya akan menepati permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia.
Apakah permintaan Paduka Tuan Ketua yang
mulia? Paduka tuan
Ketua yang mulia
minta kepada sidang Dokuritsu
Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar
inilah nanti akan saya kemukakan
didalarn pidato saya ini.
Maaf,
beribu maaf! Banyak anggota
telah berpidato,
dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan
permintaan Paduka Tuan.Ketua yang mulia, yaitu bukan
dasarnya Indonesia
Merdeka. Menurut anggapan
saya, yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia ialah, dalam
bahasa. Belanda: “Philosofische grondslag” daripada Indonesia Merdeka.
Philosofische grondslag itulah
pundamen, filsafat,
pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di
atasnya didirikan gedung Indonesia
Merdeka yang kekal dan abadi.
Hal ini nanti akan saya kemukakan,
Paduka Tuan Ketua yang mulia, tetapi
lebih
dahulu izinkanlah saya membicarakan,
memberitahukan kepada Tuan-tuan sekalian,
apakah
yang saya artikan dengan perkataan “merdeka”. Merdeka buat saya ialah : “political independence”, politieke onafhankelijkheid.
Apakah yang dinamakan politieke onafhankelijkheid?
Tuan-tuan sekalian! Dengan
terus
terang saja saya berkata: Tatkala Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai akan bersidang, maka saya,
di dalam hati saya banyak
khawatir, kalau-kalau banyak
anggota yang saya katakan
di dalam
bahasa asing, maafkan perkataan
ini “zwaarwichtig” akan
perkara yang kecil-kecil. “Zwaarwichtig” sampai kata
orang jawa
– “njlimet”. Jikalau
sudah membicarakan
hal
yang kecil-kecil sampai "njlimet".
Jikalau
sudah membicarakan
hal
yang kecil-kecil sampai
njlimet,
barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan.
Tuan-tuan yang terhormat! Lihatlah
di dalam sejarah dunia, lihatlah kepada perjalanan dunia itu.Banyak
sekali negara-negara yang merdeka,
tetapi bandingkanlah kemerdekaan negara-
negara itu
satu lama lain! Samakah isinya, samakah
derajatnya negara-negara yang merdeka itu?
Jermania merdeka.
Saudi Arabia
merdeka. Iran
merdeka, Tiongkok
merdeka, Nippon merdeka,
Amerika merdeka, Inggris merdeka,
Rusia merdeka, Mesir
merdeka. Namanya semuanya
merdeka, tetapi bandingkanlah isinya!
Alangkah berbedanya isi itul
jikalau kita berkata: Sebelum Negara merdeka,
maka harus lebih dahulu ini selesai
itu selesai, itu selesai, sampai njlimet,
maka saya bertanya kepada Tuan-
tuan sekalian kenapa Saudi
Arabia merdeka, padahal
80% dari rakyatnya terdiri dari
kaum Badui, yang sama
sekali tidak mengerti
hal ini atau itu.
Bacalah buku Armstrong
yang menceriterakan
tentang Ibn Saud!
Di situ ternyata, bahwa tatkala Ibn
Saud
mendirikan pemerintahan
Saudi
Arabia, rakyat Arabia sebagian besar belum
mengetahui bahwa otomobil perlu
minum bensin. Pada suatu
hari otomobil Ibn Saud
dikasih
makan gandum oleh orang-orang
Badui
di Saudi
Arabia itul! Tokh Saudi Arabia
merdeka!
Lihatlah pula jikalau
Tuan-tuan
kehendaki
contoh yang lebih
hebat “Sovyet Rusia”!
Pada masa Lenin mendirikan Negara Sovyet,
adakah rakyat
Sovyet
sudah
cerdas? Seratus lima puluh
milyun rakyat
Rusia, adalah rakyat Musyik yang lebih
daripada 80% tidak dapat
membaca dan menulis; bahkan dari buku-buku yang terkenal
dari
Leo Tolstoy dan Fülöp-Miller.
Tuan-tuan mengetahui betapa keadaan rakyat Sovyet Rusia
pada waktu Lenin mendirikan negara Sovyet
itu. Dan
kita
sekarang disini mau mendirikan
negara Indonesia Merdeka.
Terlalu banyak
macam- macam
soal kita kemukakan!
Maaf
Paduka Tuan Zimukyokutyoo! Berdirilah
saya punya bulu,
kalau saya membaca Tuan
punya Surat, yang minta
kepada kita supaya dirancangkan
sampai njlimet hal
ini dan itu dahulu semuanya! Kalau benar
semua hal
ini harus diselesaikan lebih
dulu, sampai njlimet, maka saya tidak akan mengalami Indonesia
Merdeka, Tuan tidak akan mengalami Indonesia Merdeka,
kita
semuanya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka “sampai di lobang
kubur”!
(Tepuk
tangan riuh).
Saudara-saudara! Apakah yang dinamakan merdeka? Di
dalam tahun ‘33 saya telah
menulis satu risalah. Risalah yang bernama “Mencapai Indonesia
Merdeka”.
Maka dalam risalah tahun ‘33
itu, telah saya katakan,
bahwa kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid,
political
independence, tak lain dan tak bukan, ialah
satu jembatan, satu jembatan emas. Saya katakan
di dalam kitab itu, bahwa di seberangnya jembatan
itulah kita sempurnakan kita
punya masyarakat.
Ibn Saud mengadakan satu
negara di dalam satu malam —in
one night only! —,kata
Armstrong di dalam kitabnya. Ibn
Saud mendirikan
Saudi
Arabia Merdeka di satu malam
sesudah ia masuk
kota Riyadh dengan
6 orang!
Sesudah "jembatan" itu
diletakkan oleh Ibn Saud, maka
di seberang jembatan, artinya kemudian
daripada itu, Ibn
Saud
barulah memperbaiki
masyarakat
Saudi
Arabia. Orang yang tidak
dapat membaca, diwajibkan belajar membaca,
orang
yang tadinya bergelandangan sebagai
nomade yaitu orang
Badui, diberi pelajaran oleh Ibn Saud jangan
bergelandangan, dikasih tempat
untuk bercocok tanam. Nomade diubah
oleh Ibn
Saud
menjadi kaum tani - semuanya di seberang jembatan.
Adakah Lenin
ketika dia mendirikan
negara Sovyet
Rusia Merdeka, telah
mempunyai Djnepprprostoff, dam yang mahabesar di sungai Dnieper? Apa ia telah
mempunyai radio station, yang menyundul ke angkasa? Apa ia
telah mempunyai
kereta-kereta
api
cukup, untuk meliputi
seluruh negara Rusia?
Apakah tiap-tiap
orang Rusia
pada waktu Lenin mendirikan Sovyet Rusia
Merdeka telah
dapat membaca dan menulis? Tidak,
Tuan-tuan yang terhormat! Di seberang jembatan
emas yang diadakan
oleh Lenin itulah, Lenin
baru mengadakan radio-station, baru
mengadakan sekolah,
baru mengadakan Creche, baru mengadakan Djnepprprostoff! Maka oleh
karena itu
saya minta
kepada tuan-tuan
sekalian, janganlah
tuan-tuan gentar di dalam
hati, janganlah mengingat
bahwa ini dan itu
lebih dulu harus selesai
dengan njlimet,
dan kalau sudah selesai, baru
kita
dapat merdeka. Alangkah berlainannya Tuan-tuan
punya semangat,-jikalau Tuan-tuan demikian- dengan
semangat pemuda-pemuda kita
yang 2 milyun banyaknya.
Dua
milyun pemuda ini menyampaikan
seruan pada saya, 2 milyun pemuda
ini semua berhasrat
Indonesia Merdeka Sekarang!
(Tepuk tangan riuh).
Saudara-saudara, kenapa kita sebagai pemimpin
rakyat, yang mengetahui
sejarah,
menjadi zwaarwichtig, menjadi
gentar, padahal semboyan Indonesia
Merdeka bukan sekarang
saja kita siarkan? Berpuluh-puluh
tahun yang lalu,
kita
telah menyiarkan semboyan Indonesia Merdeka,
bahkan sejak tahun
1932 dengan nyata-nyata kita mempunyai
semboyan
“INDONESIA
MERDEKA SEKARANG” Bahkan 3 kali sekarang, yaitu Indonesia
Merdeka sekarang,
sekarang, sekarang!
(Tepuk tangan riuh).
Dan
sekarang kita menghadapi
kesempatan untuk menyusun Indonesia Merdeka, kok lantas
kita zwaarwichtig
dan gentar-hati! Saudara-saudara,
saya peringatkan sekali lagi,
Indonesia Merdeka,
political independence,
politieke onafhankelijkheid,
tidak
lain dan tidak bukan ialah
satu jembatan.
Jangan gentar! Jikalau umpamanya kita pada saat
sekarang ini
diberikan kesempatan
oleh Dai Nippon untuk merdeka, maka
dengan
mudah Gunseikan diganti
dengan orang yang bernama Tjondro
Asmoro, atau Soomubutyoo diganti dengan
orang yang
bernama Abdul Halim. Jikalau umpamanya Butyoo-Butyoo
diganti dengan orang-orang Indonesia,
pada sekarang ini,
sebenarnya kita telah mendapat political
independence,
politieke onafhankelijkheid,
— in one night, di dalam satu malam!
Saudara-saudara, pemuda-pemuda yang 2
milyun, semuanya bersemboyan: Indonesia Merdeka,
sekarang! jikalau umpamanya Balatentara Dai
Nippon sekarang menyerahkan urusan negara kepada Saudara-saudara, apakah Saudara-saudara akan menolak, serta
berkata: mangke rumiyin,
tunggu dulu, minta ini dan itu
selesai dulu, baru kita berani menerima urusan
negara Indonesia
Merdeka?
(Seruan: Tidak! Tidak!).
Saudara-saudara, kalau
umpamanya pada saat sekarang ini Balatentara Dai Nippon menyerahkan
urusan negara kepada kita, maka satu
menit pun kita tidak akan
menolak, sekarang pun kita menerima urusan itu,
sekarang pun
kita
mulai dengan negara Indonesia yang Merdeka!
(Tepuk tangan menggemparkan).
Saudara-saudara, tadi saya berkata,
ada
perbedaan antara Sovyet
Rusia, Saudi Arabia, Inggris, Amerika dan lain-lain
tentang isinya:
tetapi
ada satu yang
sama, yaitu
rakyat
Saudi Arabia sanggup mempertahankan negaranya.
Musyik-musyik di Rusia
sanggup mempertahankan
negaranya.
Rakyat Amerika
sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Inggris
sanggup mempertahankan
negaranya. Inilah yang menjadi minimum-eis.
Artiriya, kalau ada kecakapan yang lain, tentu lebih baik,
tetapi manakala
sesuatu bangsa telah
sanggup mempertahankan negerinya dengan darahnya sendiri,
dengan
dagingnya sendiri,
pada saat itu
bangsa itu telah
masak untuk kemerdekaan. Kalau
bangsa kita, semua
siap sedia mati, mempertahankan tanah
air
kita
Indonesia, pada saat itu
bangsa Indonesia adalah
siap sedia, masak untuk
Merdeka.
(Tepuk tangan riuh)
Cobalah
pikirkan hal ini dengan memperbandingkannya dengan
manusia. Manusia pun demikian
Saudara-saudara! Ibaratnya,
kemerdekaan
saya bandingkan dengan perkawinan. Ada yang berani
kawin,
lekas berani kawin, ada yang takut kawin.
Ada yang berkata: Ah, saya belum berani kawin,
tunggu dulu
gaji Rp. 500. Kalau
saya sudah mempunyai
rumah
gedung, sudah ada permadani,
sudah ada lampu listrik,
sudah mempunyai
tempat
tidur yang mentul-mentul, sudah
mempunyai sendok garpu perak satu kaset,
sudah mempunyai
ini dan itu, bahkan sudah
mempunyai kinder-uitzet, barulah
saya berani
kawin.
Ada orang lain yang berkata: Saya sudah berani kawin
kalau
saya sudah mempunyai meja
satu, kursi empat, yaitu meja
makan", lantas satu zitje,
lantas satu tempat tidur.
Ada orang yang lebih berani
lagi dari itu,
yaitu saudara-saudara Marhaen! Kalau dia sudah mempunyai gubug saja dengan
satu
tikar,
dengan satu periuk: dia
kawin. Marhaen
dengan satu
tikar,
satu gubug: kawin.
Sang klerk
dengan
satu
meja,
empat kursi, satu zitje, satu tempat tidur: kawin.
Sang Ndoro yang mempunyai rumah gedung, electrische kookplaat, tempat tidur,
uang bertimbun-timbun: kawin. Belum
tentu
mana yang lebih gelukkig, belum tentu mana yang lebih bahagia,
Sang
Ndoro dengan
tempat-tidurnya yang mentul-mentul,
atau Sarinem dan Samiun yang hanya mempunyai
satu
tikar satu periuk, Saudara-saudara!
(Tepuk tangan,
dan tertawa).
Tekad hatinya yang perlu,
tekad hatinya Samiun
kawin
dengan
satu
tikar dan satu periuk, dan hati Sang Ndoro yang baru berani kawin kalau
sudah
mempunyai gerozilver satu
kaset plus
kinder-uitzet, -- buat 3 tahun
lamanya! (Tertawa).
Saudara-saudara, soalnya adalah
demikian: kita
ini berani merdeka atau
tidak? Inilah,
Saudara-saudara sekalian,
Paduka tuan Ketua yang mulia,
ukuran saya yang terlebih dulu
saya
kemukakan sebelum saya bicarakan hal-hal yang
mengenai dasarnya satu negara yang merdeka. Saya mendengar
uraian Paduka Tuan
Soetardjo beberapa hari yang lalu
tatkala menjawab
apakah
yang dinamakan merdeka, beliau
mengatakan: kalau tiap-tiap orang di
dalam hatinya telah merdeka,
itulah kemerdekaan.
Saudara-saudara,
jika
tiap-tiap orang Indonesia yang
70 milyun ini lebih dulu harus merdeka di dalam
hatinya, sebelum
kita dapat mencapai political-independence, saya ulangi
lagi,
sampai lebur kiamat
kita belum dapat Indonesia
Merdeka! (Tepuk tangan
riuh).
Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan
rakyat
kita! Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan hatinya bangsa kita!
Di dalam Saudi Arabia Merdeka, Ibn Saud memerdekakan
rakyat Arabia satu persatu. Di
dalam Sovyet
Rusia Merdeka Stalin memerdekakan
hati bangsa Sovyet
Rusia satu persatu.
Saudara-saudara! Sebagai juga salah seorang pembicara berkata:
kita bangsa Indonesia tidak sehat
badan, banyak penyakit malaria,
banyak disentri, banyak
penyakit hongeroedeem, banyak
ini banyak
itu. “Sehatkan
dulu bangsa kita, baru kemudian
merdeka.”
Saya berkata,
kalau ini pun harus diselesaikan lebih
dulu, 20 tahun lagi
kita belum merdeka.
Di dalam Indonesia
Merdeka itulah
kita menyehatkan
rakyat kita, walaupun
misalnya tidak
dengan kinine, tetapi
kita kerahkan segenap masyarakat kita
untuk menghilangkan
penyakit
malaria dengan
menanam ketepeng kerbau. Di dalam Indonesia
Merdeka kita melatih
pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan
rakyat
sebaik-
baiknya. Inilah maksud saya dengan perkataan "jembatan".
Di seberang jembatan, jembatan emas, inilah, baru kita leluasa menyusun
masyarakat Indonesia Merdeka yang
gagah, kuat,
sehat,
kekal
dan abadi.
Tuan-tuan sekalian! Kita sekarang menghadapi satu
saat
yang mahapenting. Tidakkah kita mengetahui,
sebagaimana telah diutarakan
oleh
berpuluh-puluh pembicara,
bahwa
sebenarnya internationaalrecht, hukum internasional, menggampangkan pekerjaan
kita? Untuk menyusun, mengadakan, mengakui
satu negara yang merdeka,
tidaklah
diadakan
syarat yang neka-neka, yang njelimet,
tidak! Syaratnya sekadar bumi, rakyat, pemerintah yang teguh! Ini sudah
cukup untuk internationaalrecht. Cukup, Saudara-saudara. Asal
ada
buminya, ada rakyatnya, ada pemerintahnya,
kemudian
diakui oleh satu negara yang lain,
yang merdeka, inilah
yang sudah
bernama: merdeka.
Tidak perduli rakyat dapat
baca atau tidak, tidak perduli rakyat
hebat
ekonominya atau
tidak,
tidak
perduli rakyat bodoh atau
pintar, asal menurut hukum internasional mempunyai syarat-syarat
suatu negara merdeka, yaitu ada rakyatnya,
ada
buminya dan ada pemerintahannya, — sudahlah
ia merdeka.
Janganlah kita gentar,
zwaarwichtig,
lantas mau menyelesaikan
lebih
dulu 1001 soal yang bukan-bukan! Sekali lagi
saya bertanya: Mau merdeka apa tidak? Mau merdeka apa tidak? (Jawab hadirin : Mau!).
Saudara-saudara!
Sesudah saya bicarakan
tentang hal
“merdeka”, maka sekarang saya bicarakan tentang hal
dasar.
Paduka Tuan Ketua yang
mulia! Saya mengerti
apakah yang Paduka Tuan Ketua
kehendaki! Paduka Tuan Ketua
minta dasar, minta
philosophische grondslag, atau,
jikalau kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk,
Paduka Tuan Ketua yang mulia meminta suatu
“Weltanschauung”, di atas mana
kita mendirikan negara Indonesia
itu.
Kita melihat
dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri yang merdeka,
dan
banyak
di antara negeri-negeri yang merdeka itu
berdiri di atas suatu
“Weltanschauung”. Hitler mendirikan jermania di atas
“national-sozialistische Weltanschauung”, —
filsafat nasional-sosialisme
telah menjadi dasar negara jermania yang didirikan oleh
Adolf Hitler itu. Lenin mendirikan
negara Sovyet di atas satu “Weltanschauung”, yaitu
"Marxistische,
Historisch-Materialistische Weltanschauung”. Nippon
mendirikan negara Dai
Nippon di atas satu "Weltanschauung, yaitu
yang dinamakan, “Tennoo Koodoo Seishin”. Di atas Tenno Koodoo Seishin inilah negara Dai Nippon didirikan. Saudi
Arabia, Ibn Saud,
mendirikan negara Arabia
di atas satu “Weltanschauung”,
bahkan
di atas satu dasar
agama, yaitu Islam.
Demikian itulah yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia:
Apakah “Weltanschauung” kita, jikalau
kita
hendak mendirikan Indonesia yang merdeka?
Tuan-tuan sekalian, "Weltanschauung" ini
sudah lama harus kita bulatkan di
dalam hati kita dan di dalam
pikiran kita,
sebelum Indonesia Merdeka datang. Idealis-idealis
di seluruh dunia bekerja mati-matian
untuk mengadakan
bermacam-macam “Weltanschauung”, bekerja
mati-matian untuk me-“realiteitkan”
“Weltanschauung” mereka itu. Maka oleh karena itu,
sebenarnya tidak
benar perkataan
anggota yang terhormat
Abikoesno, bila beliau
berkata, bahwa banyak sekali negara-negara merdeka didirikan dengan isi seadanya saja,
menurut
keadaan. Tidak!
Sebab misalnya, walaupun menurut
perkataan
John Reed: “Sovyet-Rusia
didirikan di dalam 10 hari
oleh Lenin c.s.”, — John Reed, di dalam kitabnya: “Ten
days that shook
the world”, “sepuluh hari yang menggoncangkan dunia” —walaupun Lenin mendirikan
Sovyet- Rusia di dalam 10 hari, tetapi
“Weltanschauung”-nya telah tersedia
berpuluh-puluh tahun. Terlebih dulu
telah tersedia “Weltanschauung”-nya, dan di dalam
10 hari itu hanya sekadar direbut
kekuasaan, dan ditempatkan negara baru
itu di atas “Weltanschauung” yang sudah ada. Dari
1895 "Weltanschauung" itu
telah disusun. Bahkan dalam
revolusi
1905, Weltanschauung itu “dicobakan”, di- “generale- repetitie”- kan.
Lenin di dalam
revolusi tahun 1905 telah mengerjakan
apa yang dikatakan oleh beliau
sendiri “generale-repetitie” daripada revolusi
tahun
1917. Sudah lama
sebelum 1917, “Weltans-
chauung” itu
disedia-sediakan, bahkan
diikhtiar-ikhtiarkan. Kemudian,
hanya dalam 10 hari,
sebagai
dikatakan
oleh John Reed. Hanya dalam 10 hari
itulah didirikan negara baru, direbut kekuasaan,
ditaruhkan kekuasaan itu
di atas “Weltanschauung”. yang telah berpuluh-puluh tahun umurnya itu. Tidakkah
pula Hitler demikian?
Di dalam tahun
1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, mendirikan negara jermania
di atas National-sozialistische Weltanschauung.
Tetapi
kapankah
Hitler mulai menyediakan dia punya “Weltanschauung” itu? Bukan
di dalam tahun 1933, tetapi di
dalam
tahun
1921 dan 1922 beliau
telah bekerja,
kemudian mengikhtiarkan pula, agar supaya Naziisme
ini, “Weltanschauung” ini, dapat menjelma dengan dia punya “Münchener
Putsch”, tetapi gagal. Di dalam tahun 1933 barulah datang saatnya yang beliau
dapat
merebut kekuasaan,
dan negara diletakkan oleh beliau
di atas dasar “Weltanschauung” yang telah
dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu.
Maka demikian
pula, jika kita hendak
mendirikan negara Indonesia
Merdeka, Paduka Tuan
Ketua, timbullah pertanyaan: Apakah
“Weltanschauung” kita, untuk
mendirikan negara Indonesia
Merdeka di
atasnya? Apakah
nasional-sosialisme? Apakah historisch-materialisme?
Apakah “San
Min Chu I”, sebagai
dikatakan
oleh Doktor Sun Yat Sen?
Di dalam
tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan
negara Tiongkok merdeka, tetapi “Weltanschauung”nya telah dalam
tahun 1885, kalau saya tidak salah,
dipikirkan, dirancangkan. Di dalam
buku “The three people’s
principles” San
Min Chu I, — Mintsu, Min Chuan,
Min Sheng, — nasionalisme, demokrasi, sosialisme, — telah
digambarkan oleh
Doktor Sun Yat Sen
Weltanschauung
itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau
mendirikan negara baru di atas
“Weltanschauung” San Min
Chu I itu, yang telah disediakan
terdahulu berpuluh-puluh
tahun.
Kita hendak
mendirikan negara Indonesia Merdeka di atas
“Weltanschauung” apa?
Nasional-sosialisme-kah, Marxisme-kah, San Min Chu I-kah, atau “Weltanschauung”
apakah?
Saudara-saudara sekalian,
kita
telah bersidang tiga hari
lamanya, banyak
pikiran telah dikemukakan,
— macam-macam
tetapi alangkah benarnya perkataan
Dr. Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadikoesomo,
bahwa kita harus
mencari
persetujuan, mencari persetujuan
faham. Kita bersama-sama mencari persatuan philosophische grondslag,
mencari satu “Weltanschauung” yang
kita semua setuju.
Saya katakan
lagi setuju! Yang Saudara Yamin
setujui, yang Ki Bagoes
setujui yang Ki
Hadjar setujui, yang Saudara Sanoesi
setujui, yang
Saudara Abikoesno
setujui, yang Saudara Lim Koen Hian
setujui, pendeknya kita semua
mencari satu
modus. Tuan Yamin, ini bukan kompromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu
hal yang
kita
bersama-sama setujui. Apakah
itu?
Pertama-tama,
Saudara-saudara,
saya bertanya: Apakah
kita
hendak mendirikan Indonesia
Merdeka untuk sesuatu
orang, untuk
sesuatu golongan?
Mendirikan negara
Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi
sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang,
untuk memberi kekuasaan kepada satu
golongan yang
kaya, untuk memberi
kekuasaan pada satu golongan bangsawan? Apakah
maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik Saudara-saudara yang bernama kaum
kebangsaan yang di
sini, maupun Saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam,
semua- nya telah mufakat,
bahwa bukan negara yang demikian itulah
kita punya tujuan. Kita hendak
mendirikan suatu negara
“semua
buat semua”. Bukan
buat satu orang, bukan buat
satu golongan,
baik golongan
bangsawan, maupun golongan yang kaya, —tetapi
“semua buat
semua”.
Inilah salah satu
dasar pikiran yang nanti akan
saya kupas
lagi. Maka, yang selalu mendengung di
dalam saya punya jiwa, bukan saja
di dalam beberapa hari
di dalam sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai ini,
akan
tetapi sejak tahun 1918, 25
tahun lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara
Indonesia, ialah dasar kebangsaan. Kita mendirikan satu negara kebangsaan
Indonesia.
Saya minta, Saudara Ki Bagoes Hadikoesomo
dan Saudara-saudara Islam lain: maafkanlah saya memakai perkataan “kebangsaan” ini! Saya pun
orang Islam.
Tetapi saya minta
kepada Saudara-saudara, janganlah
Saudara-saudara salah faham
jikalau saya katakan
bahwa
dasar
pertama buat Indonesia ialah dasar
kebangsaan. Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki
satu nationale staat, seperti yang saya katakan dalam
rapat
di Taman
Raden
Saleh beberapa hari yang lalu.
Satu Nationale Staat Indonesia bukan
berarti
staat yang sempit. Sebagai Saudara Ki
Bagoes
Hadikoesoemo katakan kemarin, maka
Tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak
Tuan pun adalah orang
Indonesia, nenek Tuan
pun bangsa Indonesia, datuk-datuk Tuan,
nenek
moyang Tuan pun
bangsa Indonesia. Di
atas satu kebangsaan Indonesia,
dalam
arti yang dimaksudkan oleh Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah,
kita dasarkan negara
Indonesia.
Satu Nationale Staat!
Hal
ini perlu diterangkan
lebih dahulu, meski saya di dalam
rapat
besar di Taman
Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerangkannya.
Marilah saya uraikan
lebih jelas dengan
mengambil
tempo sedikit :
Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah
syaratnya bangsa?
Menurut Renan
syarat
bangsa ialah “kehendak akan bersatu”. Perlu
orang-orangnya merasa diri
bersatu dan mau bersatu Ernest Renan menyebut
syarat bangsa: “le
desir d’etre ensemble”, yaitu
kehendak
akan bersatu.
Menurut definisi Ernest Renan, maka
yang menjadi
bangsa, yaitu satu gerombolan manusia yang
mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu.
Kalau
kita lihat definisi orang lain, yaitu
definisi Otto Bauer, di dalam
bukunya “Die
Nationalitatenfrage”, di
situ dinyatakan: “Was
ist eine
Nation?” dan jawabnya ialah: “Eine Nation
ist eine
aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charakter-gemeinschaft.” Inilah yang
menurut Otto Bauer satu natie.
(Bangsa adalah
satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib).
Tetapi kemarin
pun tatkala, kalau tidak salah Prof. Soepomo mensitir
Ernest
Renan, maka
anggota yang terhormat Mr. Yamin berkata: “verouderd,” “sudah tua.” Memang tuan-tuan
sekalian,
definisi Ernest Renan
sudah “verouderd”, sudah
tua. Definisi Otto Bauer
pun sudah tua, Sebab tatkala Ernest
Renan
mengadakan
definisinya itu, tatkala Otto Bauer mengadakan
definisinya itu, tatkala
itu belum timbul satu
wetenschap baru,
satu ilmu baru, yang dinamakan
Geopolitik.
Kemarin, kalau
tidak
salah, Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau
Tuan Moenandar, mengatakan tentang “Persatuan antara orang dan tempat”.
Persatuan antara orang dan
tempat, Tuan-tuan sekalian, persatuan
antara manusia dan tempatnya!
Orang dan tempat tidak
dapat
dipisahkan! Tidak dapat
dipisahkan rakyat
dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest
Renan dan
Otto Bauer hanya sekadar
melihat orangnya.
Mereka
hanya memikirkan
“Gemeinschaft”-nya dan perasaan
“l’ame
et le desir”. Mereka hanya mengingat karakter, orangnya, tidak mengingat tempat,
tidak
mengingat bumi, bumi yang didiami oleh
manusia itu. Apakah
tempat itu? Tempat itu yaitu
tanah air. Tanah
air itu adalah satu kesatuan.
Allah s.w.t. membuat
peta dunia, menyusun
peta
dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan di mana “kesatuan-kesatuan” di situ.
Seorang anak
kecil pun, jikalau ia
melihat peta dunia, ia
dapat menunjukkan
bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan.
Pada peta itu dapat ditunjukkan
satu kesatuan gerombolan
pulau-pulau di antara 2
lautan yang besar, Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, dan
di antara 2 benua, yaitu Benua Asia dan
Benua Australia.
Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatra, Borneo,
Selebes, Halmahera, Kepulauan
Sunda Kecil,
Maluku, dan lain-lain pulau kecil di antaranya,
adalah
satu kesatuan. Demikian pula
tiap-tiap
anak
kecil dapat melihat pada
peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir Timur
Benua Asia sebagai “golfbreker” atau
penghadang
gelombang Lautan Pasifik,
adalah satu kesatuan.
Anak
kecil pun dapat
melihat, bahwa tanah India adalah satu
kesatuan
di Asia Selatan, dibatasi oleh Lautan Hindia yang luas
dan Gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula
dapat
mengatakan, bahwa kepulauan Inggris
adalah satu kesatuan.
Griekenland atau Yunani dapat
ditunjukkan sebagai satu kesatuan pula. Itu ditaruhkan
oleh Allah s.w.t. demikian
rupa.
Bukan Sparta saja,
bukan Athene saja,
bukan
Macedonia saja,tetapi
Sparta plus Athene plus
Macedonia plus daerah Yunani yang lain-lain, segenap kepulauan Yunani, adalah satu kesatuan.
Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita, tanah air
kita? Menurut geopolitik, maka
Indonesialah
tanah air kita. Indonesia yang bulat,
bukan Jawa saja,
bukan
Sumatera saja, atau Borneo saja,
atau Selebes saja,
atau Ambon saja, atau Maluku
saja, tetapi segenap
kepulauan yang ditunjuk
oleh
Allah s.w.t menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua
samudra, itulah tanah-air kita!
Maka jikalau
saya ingat berhubungan antara orang dan
tempat,
antara rakyat
dan buminya, maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan
oleh Ernest Renan dan Otto Bauer
itu. Tidak cukup “le desir d’etre ensemble”,
tidak
cukup
definisi Otto Bauer “aus
Schiksalsgemeinschaft
erwachsene Charaktergemeinschaft” itu.
Maaf
Saudara-saudara,
saya
mengambil contoh Minangkabau.
Di antara bangsa di Indonesia, yang paling ada “desir d’etre ensemble”, adalah
rakyat Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2 ½ milyun.
Rakyat ini
merasa dirinya satu
keluarga. Tetapi Minangkabau bukan
satu kesatuan, melainkan
hanya satu
bahagian kecil daripada satu
kesatuan! Penduduk Yogya pun adalah merasa “le
desir d’etre ensemble”, tetapi
Yogya pun hanya satu bahagian kecil daripada satu
kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan
sangat merasakan
“le desir d’etre ensemble”,
tetapi
Sunda pun hanya satu bahagian
kecil daripada satu kesatuan.
Pendek kata, bangsa Indonesia, natie Indonesia,
bukanlah
sekedar
satu golongan orang
yang hidup
dengan “le desir d’etre ensemble” di
atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau
Madura, atau Yogya, atau
Sunda, atau Bugis, tetapi
bangsa Indonesia
ialah seluruh manusia-manusia yang, menurut geopolitik yang telah
ditentukan
oleh Allah s.w.t., tinggal
di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung utara Sumatra sampai
ke Irian! Seluruhnya! karena antara manusia 70.000.000 ini sudah ada “le desir d’etre ensemble”, sudah jadi “Charaktergemeinschaft”!
Natie Indonesia,
bangsa Indonesia, umat Indonesia
jumlah
orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu,
satu, sekali lagi satu!
(Tepuk tangan hebat).
Ke sinilah kita semua harus
menuju: mendirikan satu Nationale
Staat,
di atas
kesatuan bumi Indonesia dari ujung Sumatra sampai
ke Irian.
Saya yakin tidak
ada
satu golongan di antara Tuan-tuan yang tidak
mufakat, baik
Islam maupun golongan yang dinamakan
“golongan kebangsaan”.
Ke sinilah kita harus menuju
semuanya.
Saudara-saudara, jangan orang mengira, bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah
satu nationale staat! Bukan Pruisen,
bukan Beieren, bukan Saksen
adalah nationale staat,
tetapi
seluruh Jermanialah
satu nationale staat. Bukan bagian kecil-kecil,
bukan Venezia,
bukan Lombardia, tetapi seluruh, Italialah, yaitu
seluruh semenanjung di Laut Tengah, yang di utara
dibatasi oleh
pegunungan Alpen,
adalah nationale staat. Bukan Benggala,
bukan Punjab, bukan
Bihar dan Orissa, tetapi seluruh
segi-tiga
Indialah nanti harus
menjadi nationale staat.
Demikianlah
pula bukan semua negeri-negeri
di tanah air kita yang merdeka di
jaman
dahulu, adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami nationale staat, yaitu
di jaman
Sriwijaya dan di jaman Majapahit. Di luar
itu kita tidak
mengalami nationale staat. Saya berkata
dengan penuh hormat
kepada kita punya raja-raja dahulu, saya berkata
dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan
Agung
Hanyokrokoesoemo, bahwa Mataram. meskipun
merdeka, bukan
nationale staat.
Dengan perasaan
hormat kepada Prabu
Siliwangi
di Pajajaran,
saya berkata, bahwa kerajaannya bukan nationale
staat.
Dengan perasaan
hormat kepada Prabu Sultan
Agung
Tirtayasa, saya berkata, bahwa kerajaannya di Banten, meskipun
merdeka, bukan
satu nationale staat. Dengan perasaan
hormat
kepada Sultan
Hasanoeddin di
Sulawesi yang telah membentuk kerajaan
Bugis, saya berkata,
bahwa tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale
staat.
Nationale
staat hanya Indonesia seluruhnya, yang telah berdiri di jaman Sriwijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama. Karena itu, jikalau Tuan-tuan terima baik,
marilah kita mengambil
sebagai dasar negara yang pertama: Kebangsaan
Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan
kebangsaan Jawa,
bukan kebangsaan Sumatra, bukan
kebangsaan Borneo, Sulawesi,
Bali,
atau lain-lain, tetapi kebangsaan
Indonesia, yang bersama-
sama menjadi dasar satu nationale staat. Maaf, Tuan Lim Koen Hian,
Tuan tidak mau akan kebangsaan? Di dalam
pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi
oleh
Paduka Tuan Fuku
Kaityoo,
Tuan menjawab. “Saya tidak
mau akan kebangsaan.”
Tuan Lim
Koen Hian: Bukan begitu.
Ada sambungannya lagi.
Tuan Soekarno: Kalau begitu,
maaf, dan saya mengucapkan
terima kasih, karena Tuan Lim Koen Hian
pun menyetujui dasar
kebangsaan. Saya tahu
banyak
juga
orang-orang Tionghoa klasik yang-tidak mau akan
dasar
kebangsaan, karena mereka memeluk faham kosmopolitisme,
yang mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa.
Bangsa Tionghoa dahulu
banyak yang kena penyakit kosmopolitisme,
sehingga mereka berkata
bahwa tidak ada bangsa Tionghoa tidak ada bangsa Nippon,
tidak
ada bangsa India, tidak
ada
bangsa Arab,
tetapi
semuanya “menschheid”, “peri
kemanusiaan”. Tetapi Dr.
Sun
Yat Sen bangkit,
memberi pengajaran
kepada rakyat Tionghoa,
bahwa ada kebangsaan Tionghoa!
Saya mengaku,
pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku
sekolah
HBS di Surabaya, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang
memberi pelajaran
kepada saya, — katanya: jangan
berfaham
kebangsaan, tetapi berfahamlah
rasa
kemanusiaan sedunia,
jangan
mempunyai rasa kebangsaan
sedikit pun. Itu terjadi
pada tahun ‘17.
Tetapi pada
tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan
saya, — ialah Dr.
Sun Yat
Sen! Di dalam
tulisannya “San
Min Chu I” atau “The Three People’s Principles”,
saya mendapat
pelajaran yang membongkar
kosmopolitisme yang diajarkan
oleh A. Baars
itu. Dalam hati saya sejak
itu tertanamlah rasa kebangsaan,
oleh
pengaruh
“The Three People’s
Principles” itu, Maka oleh
karna itu, jikalau
seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr.
Sun Yat Sen sebagai
penganjurnya, yakinlah,
bahwa
Bung Karno
juga seorang Indonesia yang dengan perasaan
hormat-sehormat-hormatnya merasa berterimakasih kepada Dr.
Sun Yat Sen, - sampai masuk
ke lobang kubur
(Anggota-anggota Tionghoa
bertepuk tangan ).
Saudara-saudara. Tetapi.....tetapi.....memang prinsip
kebangsaan ini
ada bahayanya!
Bahayanya ialah
mungkin orang meruncingkan
nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga befaham “Indonesia Uber
Alles”. Inilah
bahayanya!
Kita cinta tanah air yang satu,
merasa
berbangsa yang satu,
mempunyai bahasa yang satu. Tetapi
tanah air kita Indonesia hanya satu bahagian
kecil saja dari pada dunia! Ingatlah akan hal
ini!
Gandhi
berkata,”saya seorang nasionalis,
tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan.” “My nationalism is humanity”
Kebangsaan yang kita anjurkan
bukan kebangsaan yang menyendiri,
bukan chauvinisme,
sebagai
dikobar-kobarkan orang di
Eropa, yang mengatakan “Deutschland über
Alles”,
tidak ada
yang setinggi Jermania, yang katanya bangsanya minulyo,
berambut
jagung dan bermata
biru, “bangsa Aria”, yang dianggapnya tertinggi
di atas dunia, sedang bangsa lain-lain tidak Ada harganya.
Jangan kita berdiri
di atas asas demikian,
Tuan-tuan, jangan
berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus
dan termulia, serta
meremehkan
bangsa lain. Kita
harus menuju persatuan dunia, persaudaraan
dunia.
Kita bukan saja mendirikan negara Indonesia merdeka, tetapi
kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa. Justru
inilah prinsip saya yang kedua, inilah filosofisch
principe yang nomor
dua,
yang saya usulkan
pada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan “internasionalisme”. Tetapi
jika saya katakan
internasionalisme, bukanlah
saya bermaksud kosmopolitisme, yang tidak
mau adanya kebangsaan, yang mengatakan
tidak
ada
Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika,
dan
lain-lainnya.
Internasionalisme tidak dapat hidup
subur, kalau tidak
berakar di
dalam
buminya nasionalisme.
Nasionalisme tidak dapat hidup
subur, kalau tidak hidup di taman-sarinya internasionalisme,
jadi, dua hal ini, saudara-saudara,
prinsip I dan prinsip II, yang pertama-tama
saya usulkan
kepada tuan-tuan
sekalian, adalah bergandengan erat
satu sama lain.
Kemudian,
apakah
dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar
perwakilan,
dasar
permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu
negara untuk satu orang,
bukan
satu negara untuk satu
golongan, Walaupun golongan kaya.
Tetapi kita mendirikan negara,”Saya
yakin
bahwa syarat yang mutlak
untuk kuatnya negara Indonesia ialah
permusyawaratan, perwakilan.
Untuk pihak Islam,
inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita,saya pun, adalah orang
Islam,- maaf beribu-ribu
maaf,
keislaman
saya jauh lebih
sempurna,- tetapi
kalau
saudara-saudar membuka saya punya dada,
dan
melihat
saya punya hati, Tuan-tuan akan
dapati
tidak
lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam
Bung
Karno ini, ingin membela Islam dalam
mufakat, dalam permusyawaratan, Dengan
cara mufakat,
kita perbaiki segala
hal, juga keselamatan agama, yaitu
dengan jalan pembicaraan dan
permusyawaratan di dalam
Badan Perwakilan
Rakyat. Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di
dalam permusyawaratan. Badan Perwakilan,
inilah tempat kita mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Di sinilah kita usulkan kepada pimpinan-pimpinan rakyat, apa-apa yang
kita
rasa perlu kita bagi
perbaikan. Jikalau memang
rakyat Islam,
marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya sebagian yang terbesar
dari pada kursi-kursi
badan perwakilan
rakyat yang kita adakan,
diduduki oleh utusan-utusan
Islam. Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam. Dan
jikalau
memang
Islam di sini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam
kalangan rakyat,
marilah kita
pemimpin-pemimpin menggerakkan
segenap
rakyat
itu, agar supaya mengerahkan sebanyak
mungkin utusan-utusan Islam
ke dalam badan perwakilan ini, Ibaratnya badan perwakilan
Rakyat
100 orang anggotanya, marilah
kita
bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60,
70, 80, 90 utusan yang duduk
dalam
perwakilan rakyat
ini
orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan
sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu,
hukum Islam pula. Malahan saya yakin,
jikalau
hal
yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh
dikatan bahwa agama Islam
benar-benar hidup
di dalam
jiwa
rakyat sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan adalah orang
Islam , pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam,
maka saya berkata,
baru jikalau demikian, baru
jikalau demikian, hiduplah Islam
indonesia, dan bukan hanya Islam
di atas bibir saja. Kita berkata, 90%
daripada kita beragama Islam, tetapi lihatlah di dalam
sidang ini berapa persen yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf
seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi
saya hal ini
adalah satu bukti,
bahwa Islam belum hidup
sehidup-hidupnya di kalangan rakyat. Oleh
karena itu, saya minta kepada saudara-saudara sekalian,
baik yang bukan Islam, maupun
terutama yang Islam,
setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan. Dalam
perwakilan nanti ada perjuangan sehebat-hebatnya.
Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup
jikalau di dalam badan perwakilannya
tidak
seakan
– akan bergolak
mendidih kawah Candradimuka, kalau
tidak ada perjuangan
faham di dalamnya. Baik di dalam staat islam, maupun
di dalam staat kristen,
perjuangan
selamanya ada.
Terimalah prinsip nomor 3, prinsip
mufakat, prinsip
perwakilan
rakyat!
Di dalam perwakilan rakyat
saudara-saudara Islam
dan
saudara-saudara
Kristen bekerjalah sehebat-
hebatnya. Kalau misalnya orang Kristen ingin
bahwa
tiap-tiap letter
di dalam peraturan- peraturan negara harus
menurut Injil, bekerjalah mati-matian, agar
supaya sebagian
besar daripada utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia
ialah orang Kristen. Itu adil,
fair play! Tidak ada satu
negara boleh dikatakan negara hidup,
kalau tidak ada perjuangannya di
dalamnya. Jangan kira di Turki tidak
ada
perjuangan. Jangan kira di
negara Nippon tidak ada
pergeseran
pikiran. Allah subhanahu
wa taala memberi pikiran
kepada kita,
agar supaya dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu
bergosok, seakan-akan
menumbukan membersihkan gabah,
supaya keluar daripadanya
beras,
dan
beras itu
akan
menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya.
Terimalah saudara-saudara, prinsip nomor 3, yaitu prinsip permusyawaratan!
Prinsip no. 4 sekarang saya usulkan.
Saya di dalam 3 hari
ini belum mendengar
prinsip itu, yaitu
prinsip kesejahteraan,
prinsip: tidak ada kemiskinan
di dalam Indonesia
Merdeka.Saya katakan tadi: prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu,
Min
Chuan, Min Sheng : nationalism, democracy,
socialism. Maka prinsip
kita
harus: Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum
kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup
pakaian,
hidup dalam kesejahteraan,
merasa dipangku
oleh Ibu
Pertiwi yang cukup
memberi sandang pangan kepadanya? Mana yang
kita
pilih, Saudara-saudara? Jangan saudara kira,
bahwa kalau Badan Perwakilan
Rakyat sudah
ada, kita dengan
sendirinya sudah mencapai
kesejahteraan ini,
kita
sudah lihat, di negara-negara Eropa adalah Badan Perwakilan, adalah
parlementaire democratie. Tetapi
tidakkah di Eropa
justru kaum kapitalis merajalela?
Di Amerika ada suatu badan perwakilan
rakyat,
dan
tidakkah di Amerika
kaum
kapitalis merajalela? Tidakkah
di seluruh benua Barat kaum
Kapitalis merajalela? Padahal
ada badan perwakilan rakyat! Tak
lain
tak
sebabnya, ialah oleh karena badan-badan perwakilan rakyat yang diadakan disana
itu,sekedar menurut resepnya Fransche Revolutie. Tak
lain tak bukan adalah yang dinamakan
democratie di
sana itu hanyalah politieke democratie saja,
semata-mata tidak ada sociale rechtvaardighead,
tak ada keadilan sosial,
tidak ada ekonomische demokratie sama
sekali, saudara-saudara,
saya ingan akan
kalimat
seorang pemimpin Perancis,
“Di dalam Parlementaire Democratie, kata
Jean
Jaures, “ tiap-tiap orang mempunyai
hak yang sama. Hak
politik yang sama, tiap-tiap orang boleh
memilih, tiap-tiap orang boleh
masuk di dalam parlemen. Tetapi
adakah sociale
rechtvaaridigheid
, adakah kenyataan
kesejahteraan
di kalangan rakyat? “ Maka oleh karena itu Jean Jaures berkata lagi:
“Wakil kaum buruh yang mempunyai
hak politik itu
, di dalam perlemen dapat menjatuhkan minister. Ia seperti raja, tetapi di dalam dia punya tempat
bekerja, di dalam
pabrik, - sekarang ia menjatuhkan minister,
besok ia dapat dilemparkan
ke luar ke jalan
raya, dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu
apa.”
Adakah
keadaan yang demikian ini
yang kita kehendaki!
Saudara-saudara,
saya usulkan:
kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat,
tetapi
permusyawaratan yang memberi
hidup, yakni politiek-ekonomische democratie yang mampu mendatangkan
kesejahteraan sosial Rakyat Indonesia
sudah lama bicara tentang hal
ini. Apakah yang dimaksud
dengan Ratu
Adil? Yang dimaksud dengan faham
Ratu
Adil,
ialah sociale rechtvaardigheid.
Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan kurang pakaian, menciptakan
dunia baru yang di dalamnya ada keadilan
di bawah pimpinan Ratu Adil. Maka oleh karena itu,
jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencinta rakyat Indonesia,
marilah kita terima prinsip
hal sociale rechtvaardigheid
ini,
yaitu bukan saja
persamaan politik, saudara-saudara,
tetapi
pun di atas lapangan ekonomi
kita harus
mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.
Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat,
hendaknya bukan
badan
permusyawaratan politieke democratie saja,
tetapi badan yang bersama dengan
masyarakat dapat mewujudkan
dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid.
Kita akan bicarakan
hal-hal ini
bersama-sama,
saudara-saudara,
di dalam badan permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal
akan
kita
selesaikan, segala hal! Juga di
dalam urusan kepala negara,
saya terus terang,
saya tidak akan memilih
monarchie.
Apa
sebab? Oleh karena monarchie “ vooronderstelt erfelijkheid
“,
- turun-temurun.
Saya seorang
Islam, saya demokrat
karena saya orang Islam,
saya menghendaki mufakat,
maka saya minta
supaya tiap-tiap kepala negara pun
dipilih. Tidakkah
agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik kalif, maupun
Amirul mukminin, harus dipilih
oleh
rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan kepala negara, kita pilih. Jikalau pada suatu hari
Ki Bagoes Hadikoesoemo misalnya,
menjadi kepala negara Indonesia, dan mangkat,
meninggal dunia,
jangan anaknya Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya, dengan
otomatis menjadi pengganti Ki
Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu saya tidak
mufakat kepada prinsip monarchie
itu.
Saudara-saudara, apakah prinsip
ke-5? Saya telah mengemukakan 4
Prinsip :
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme, -
atau perikemanusiaan
3. Mufakat
– atau demokrasi
4. Kesejahteraan
sosial
Prinsip yang kelima hendaknya: menyusun Indonesia
Merdeka dengan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
Prinsip Ketuhanan! Bukan saja
bangsa Indonesia bertuhan, tetapi
masing—masing orang
Indonesia hendaknya ber-Tuhan
Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah
Tuhan menurut petunjuk Isa al masih, yang
Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad
s.a.w., orang Buddha menjalankan
ibadahnya menurut
kitab-kitab yang ada padanya.
Tetapi marilah
kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat
menyembah Tuhannya dengan
cara leluasa.
Segenap
rakyat
hendaknya ber-Tuhan secara
kebudayaan, yakni dengan tiada “ egoisme-agama “.
Dan hendaknya Negara Indonesia satu
negara yang bertuhan!
Marilah
kita
amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen,
dengan cara yang
berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban
itu?
Ialah hormat-menghormati satu
sama lain.
( Tepuk tangan
sebagian hadirin ).
Nabi
Muhammad s.a.w. telah memberi bukti yang
cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama-agama lain, Nabi Isa pun telah
menunjukkan verdraagzaamheid itu.
Marilah kita di
dalam Indonesia
Merdeka yang
kita
susun ini, sesuai dengan
itu, menyatakan: bahwa prinsip ke-5 daripada Negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan,
ketuhanan yang
berbudi pekerti yang luhur, ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain.
Hatiku
akan
berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Mahaesa!
Di sinilah, dalam
pengakuan asas yang ke-5 inilah, saudra-saudara,
segenap agama yang
ada
di Indonesia
sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan ber-
Tuhan pula!
Ingatlah ,prinsip ketiga , permufakatan ,perwakilan , disitulah
tempatnya kita
mempropagandakan
ide kita masing – masing dengan cara yang tidak onverdraagzaam,yaitu
dengan cara yang berkebudayaan
!
Saudara – saudara ! “Dasar – dasar Negara
“ telah saya usulkan.lima bilangannya .Inilah
Panca Darma ? Bukan ! Nama Panca Dharma tidak
tepat disini . Dharma berarti
kewajiban
, sedang kita membicarakan
dasar
. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula.Rukun Islam lima jumlahnya· Apa lagi yang lima
bilangannya?
(Seorang
yang hadir : Pendawa Lima
).
Pendawa pun lima
orangnya.Sekarang banyaknya prinsip
:kebangsaan,internasionalisme
,mufakat
,kesejahteraan dan ketuhanan , lima
pula bilangannya.
Namanya bukan Panca Dharma,
tetapi–saya namakan ini dengan
petunjuk seorang teman kita ahli bahasa
–namanya ialah Pancasila .Sila artinya asas atau
dasar , dan
diatas kelima dasar itulah
kita mendirikan Negara Indonesia
,kekal dan
abadi.
(tepuk tangan riuh ).
Atau
,barangkali ada saudara –
saudara yang tidak suka akan bilangan
lima
itu? Saya
boleh peras, sehingga tinggal 3 saja.
Saudara
– saudara Tanya kepada saya ,
apakah “ perasan “ yang tiga itu ? Berpuluh – puluh
tahun
sudah saya pikirkan dia, ialah
dasar –
dasarnya Indonesia Merdeka ,
Weltanschauung kita.
Dua
dasar yang pertama, kebangsaan
internasionalisme,
kebangsaan dan perikemanusiaan,saya peras
menjadi
satu : itulah yang dahulu
saya namakan socio
– nationalism .
Dan
demokrasi yang bukan
demokrasi berat ,tetapi
politiek – economische democratie,
yaitu politieke demokrasi
dengan sociale rechtvaardigheid,demokrasi dengan
kesejahteraan,saya peraskan pula menjadi satu
: Inilah yang dulu saya namakan
socio – democratie.
Tinggal lagi ke-Tuhanan yang menghormati satu sama lain
. Jadi yang asalnya lima
itu telah menjadi tiga ,socio – nationalism, socio-demokratie,dan
ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik
tiga, ambillah yang tiga ini.
Tetapi Barang kali
tidak
semua Tuan – tuan senang kepada Trisila
ini, dan minta satu-satu
dasar
saja? Baiklah ,saya jadikan
satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu
itu ?
Sebagai tadi
telah
saya katakan:
kita mendirikan Negara Indonesia , yang kita semua harus
mendukungnya.Semua
buat semua ! Bukan Kristen
buat Indonesia,bukan golongan Islam
buat Indonesia,
bukan Hadikoesoemo buat
Indonesia , bukan Van
Eck
buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia,tetapi Indonesia buat Indonesia, - semua
buat semua ! Jikalau saya peras yang lima
menjadi tiga, dan yang tiga menjadi
satu,maka dapatlah
saya satu perkataan Indonesia yang
tulen,yaitu
perkataan
“gotong –
royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan
haruslah Negara gotong
royong ! Alangkah hebatnya !
Negara Gotong Royong
!
(Tepuk tangan riuh – rendah )
“Gotong Royong “ adalah
faham yang
dinamis, lebih dinamis dari
“kekeluargaan
“,saudara –saudara ! Kekeluargaan
adalah
satu faham yang statis,tetapi gotong –royong menggambarkan
satu
usaha,satu
amal,satu pekerjaan,yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo
satu karya,satu
gawe.Marilah kita menyelesaikan
karya, gawe‚pekerjaan‚
amal ini‚bersama-sama! Gotong - royong adalah pembantingan
― tulang bersama ‚pemerasan― keringat bersama
‚ perjuangan
bantu
―membantu bersama ∙ Amal
semua buat kepentingan
semua ‚keringat semua
buat kebahagiaan
semua. Ho‐lopis kuntul‐baris buat
kepentingan bersama
Prinsip gotong royong diantara yang kaya dan yang tidak
kaya ‚ antara yang
Islam dan yang Kristen‚antara yang bukan Indonesia tulen
dengan peranakan yang menjadi
bangsa
Indonesia ∙ Inilah‚saudara ‐saudara‚yang saya usulkan
kepada saudara –saudara..
Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Ekasila.
Tetapi terserah kepada tuan tuan
mana yang Tuan –tuan pilih
: Trisila, Ekasila ataukah pancasila? Isinya telah
saya katakan kepada saudara – saudara semuanya . Prinsip – prinsip seperti yang saya usulkan kepada saudara – saudara ini ,
adalah prinsip untuk rakyat
Rusia,San Min Chu I tidak
dapat menjadi kenyataan sonder
perjuangan
bangsa Tionghoa,Saudara – saudara ! Tidak
! Bahkan
saya berkata lebih
lagi
dari itu : sonder perjuangan manusia , tidak ada satu hal agama , tidak ada satu cita
– cita agama
yang dapat menjadi realiteit. Jangankan
buatan manusia ,sedangkan perintah
Tuhan yang tertulis didalam
kitab Quran, Zwart
op wit (tertulis di atas kertas
),tidak dapat menjelma menjadi realiteit
sonder perjuanagan manusia yang
dinamakan ummat Islam. Begitu pula perkataan – perkataan yang tertulis
di dalam kitab Injil
,cita – cita yang termasuk di dalamnya tidak
dapat menjelma sonder
perjuangan
umat Kristen.
Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia
ingin
supaya Pancasila yang saya usulkan itu,
menjadi realiteit, yakni jikalau kita ingin
hidup menjadi satu bangsa, satu nationaliteit yang merdeka ,
ingin
hidup sebagai anggota
dunia yang merdeka, yang penuh
dengan perikemanusiaan, ingin
hidup di atas dasar
permusyawaratan,
ingin
hidup sempurna dengan sociale
rechtvaardighead, ingin hidup
sejahtera dan
aman, dengan
ketuhanan yang luas dan sempurna, jangan lupa akan syarat untuk
menyelenggarakan, ialah perjuangan,perjuangan, dan
sekali perjuangan.
Jangan mengira bahwa dengan berdirinya Negara Indonesia
Merdeka itu
perjuangan
kita telah berakhir.
Tidak! Bahkan
saya berkata : Di dalam Indonesia Merdeka itu
perjuangan kita
harus berjalan
terus, hanya lain
sifatnya dengan
perjuangan
sekarang lain coraknya.
Nanti kita
bersama-sama,
sebagai bangsa yang bersatu
padu, berjuang terus
menyelenggarakan apa yang
kita
cita-citakan
di dalam Pancasila.
Dan terutama di dalam
zaman
peperangan
ini,
yakinlah, insaflah,
tanamkanlah
dalam kalbu Saudara-saudara, bahwa
Indonesia Merdeka tidak
dapat datang jika bangsa Indonesia tidak
berani mengambil resiko,
tidak
berani terjun
menyelami mutiara di
dalam samudra yang sedalam dalamnya. Jikalau bangsa Indonesia
tidak bersatu dan tidak mentekad-mati-matian
untuk mencapai merdeka,tidaklah
kemerdekaan Indonesia
itu akan menjadi milik
bangsa Indonesia
buat selama-lamanya, sampai ke
akhir jaman! Kemerdekaan hanyalah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar
dengan
tekad
“Merdeka, merdeka atau mati!” ( tepuk
tangan riuh )
Saudara-saudara! Demikianlah saya punya jawab atas
pertanyaan Paduka Tuan
Ketua. Saya minta
maaf,
bahwa pidato saya ini menjadi
panjang lebar, dan sudah meminta tempo yang sedikit lama, dan
saya juga minta maaf, karena saya telah mengadakan kritik terhadap catatan
Zimukyokutyoo yang saya anggap “ verschrikkelijk
zwaarwichtig” itu.
Terima kasih!
( Tepuk tangan
riuh rendah dari segenap hadirin ).
Edited by : Ricky Nathaniel / Ricky Tham (Admin)
0 komentar:
Posting Komentar