Rabu, 14 Desember 2016

Why We Need to Do More than Just Memorizing Pancasila

Indonesia’s national emblem, the Garuda Pancasila.


Perspective

Jakarta, GIVnews.com – As President Joko ‘Jokowi’ Widodo declares that the first day of June as the birthday of ‘Pancasila’, people can start wondering whether it makes a difference. How important is Pancasila for Indonesia and whether there is a tangible impact to people?
According to the country’s history and constitution, Pancasila shall form as the main philosophical foundation, forming the basic identity for Indonesia and its people. By right, all Indonesians remember the five principles in Pancasila. For decades, they have been taught at schools.
But implementing the values that are deeply conveyed in Pancasila is a different matter. At the government level, its proper adoption shall lead towards the implementation of policies that yield results which are parallel to the principles. At the people level, understanding the concept shall promote tolerance and other values that would lead to a harmonious living, despite our differences.
So theoretically by now, Indonesia could have been a great country to live in, an ideal beacon to the world where people have a good standard of living, without inequality. But apparently, we have not reached that stage yet, far from it.

Pancasila in our live

Pancasila, with its five principles, has not yet been truly implemented in our daily live. As of now, a corrupt system that hinders the people’s access to justice, peace, freedom of speech, and even human rights protection is still to be seen.

We still see alleged corruptors acting like celebrities. There are unsolvedhuman rights violation cases, unfairtreatment of overseas Indonesian workers continues, and uncompetitiveeducation institutions struggling to break international barrier.
Furthermore, in West Java, churches are allegedly extorted in exchange for ‘peace-keeping’ solution. Even the country’s capital frequently sees potential deadlock as Governor Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama continuously faces backlash over the implementation of tough policies that would eventually lead to a better living, parallel to the principles in Pancasila.
These are just few examples of some of the observed mischiefs that run totally the opposite from the basic principles taught in Pancasila.

School’s memory

Let’s go back to the school days, where we had to say aloud all the five principles of Pancasila during weekly flag ceremonies, up to the days where everything can be memorized by heart. Did we actually understand what we were told to remember? Has it made any difference to our live?
Pancasila will probably stay so long Indonesia progresses because everyone has it in their memory. But whether it continues to exist primarily just as the country’s symbol will depend on its successful implementation by the people.
The President’s decision to have the first day of June as Pancasila day is a good step. But we have to do more than just remembering it as Indonesia’s ideology. We should not just merely memorize Pancasila due to peer pressure. Next, people must be incentivized for understanding the principles, in addition to implementing it at school, work, home and any other places. It is now time for Indonesia to innovate new incentives that would drive people to truly implement the principles in Pancasila.

Source : globalindonesianvoices.com

Pembubaran KKR Natal di Bandung dianggap cederai nilai-nilai pancasila

Jemaat bersama Pdt. Stephen Tong Menyanyikan lagu Terakhir "Malam Kudus" Menjelang Pembubaran KKR Natal di Sabuga, Bandung

Merdeka.com - Sejumlah ormas keagamaan membubarkan Kegiatan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) yang diselenggarakan Gedung Sabuga, Bandung pada Selasa (6/12) kemarin. Pembubaran natalan tersebut dianggap sebagai bukti nyata bahwa adanya kelompok yang secara jelas mencederai dan memusuhi pancasila.


"Negara ini milik kita semua sebagai warga bangsa, kita wajib mempertahankan 4 pilar keIndonesiaan," ujar Ketua Bidang I DPP Garda Pemuda NasDem Ivanhoe Semen,Jakarta, Kamis (8/12).

Dia menjelaskan UUD 1945 menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.

"Kehidupan kebangsaan yang damai adalah komitmen kita bersama. Jangan takut terhadap teror!" tegasnya.

Oleh sebab itu, dia minta kejadian kemarin itu jangan menyurutkan semangat untuk membela Indonesia berpancasila dan berbhinneka Tunggal Ika. Tidak boleh ada ruang bagi kelompok-kelompok yang berupaya mengganggu kerukunan antar umat beragama.

"Tetaplah bersemangat merayakan Natal, tetaplah setia merawat Indonesia walaupun langit akan runtuh sekalipun, tetaplah membawa pesan perdamaian kepada sesama manusia," tandasnya.

Sebelumnya, massa yang mengatasnamakan diri Pembela Ahlus Sunnah (PAS) mendatangi lokasi penyelenggaraan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) di Gedung Sabuga, Jalan Tamansari, Kota Bandung, Selasa (6/12).

Pihak PAS meminta panitia KKR menyelenggarakan kegiatan keagamaan tersebut di rumah ibadah. Hasil kesepakatan antar kedua pihak yang dimediasi polisi membuahkan hasil yaitu acara KKR ibadah Natal sesi kedua tidak dilanjutkan dengan berbagai pertimbangan.

Acara Kebaktian Natal Umat Kristen yang menghadirkan Pdt.Dr.Stephen Tong untuk sesi kedua sedianya dilaksanakan pada pukul 18.30 WIB di Gedung Sabuga. Pihak PAS menegaskan bahwa sama sekali tidak melarang kegiatan tersebut.

"Ini kan acara keagamaan, kita enggak masalah. Enggak ada pelarangan. Nah untuk melaksanakan Natal sesuai keyakinannya, kita menyarankan kegiatannya dilakukan di tempat semestinya sesuai Undang-Undang. Ya acara Natal dilakukan di gereja, bukan di Gedung Sabuga," ujar Ketua PAS Muhammad Roin di halaman Gedung Sabuga."Negara ini milik kita semua sebagai warga bangsa, kita wajib mempertahankan 4 pilar keIndonesiaan," ujar Ketua Bidang I DPP Garda Pemuda NasDem Ivanhoe Semen,Jakarta, Kamis (8/12).


Dia menjelaskan UUD 1945 menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.

"Kehidupan kebangsaan yang damai adalah komitmen kita bersama. Jangan takut terhadap teror!" tegasnya.

Oleh sebab itu, dia minta kejadian kemarin itu jangan menyurutkan semangat untuk membela Indonesia berpancasila dan berbhinneka Tunggal Ika. Tidak boleh ada ruang bagi kelompok-kelompok yang berupaya mengganggu kerukunan antar umat beragama.

"Tetaplah bersemangat merayakan Natal, tetaplah setia merawat Indonesia walaupun langit akan runtuh sekalipun, tetaplah membawa pesan perdamaian kepada sesama manusia," tandasnya.

Sebelumnya, massa yang mengatasnamakan diri Pembela Ahlus Sunnah (PAS) mendatangi lokasi penyelenggaraan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) di Gedung Sabuga, Jalan Tamansari, Kota Bandung, Selasa (6/12).

Pihak PAS meminta panitia KKR menyelenggarakan kegiatan keagamaan tersebut di rumah ibadah. Hasil kesepakatan antar kedua pihak yang dimediasi polisi membuahkan hasil yaitu acara KKR ibadah Natal sesi kedua tidak dilanjutkan dengan berbagai pertimbangan.

Acara Kebaktian Natal Umat Kristen yang menghadirkan Pdt.Dr.Stephen Tong untuk sesi kedua sedianya dilaksanakan pada pukul 18.30 WIB di Gedung Sabuga. Pihak PAS menegaskan bahwa sama sekali tidak melarang kegiatan tersebut.

"Ini kan acara keagamaan, kita enggak masalah. Enggak ada pelarangan. Nah untuk melaksanakan Natal sesuai keyakinannya, kita menyarankan kegiatannya dilakukan di tempat semestinya sesuai Undang-Undang. Ya acara Natal dilakukan di gereja, bukan di Gedung Sabuga," ujar Ketua PAS Muhammad Roin di halaman Gedung Sabuga.

Source : Merdeka.com 

Wakil Ketua MPR: Tak Boleh Putus Asa Mensosialisasikan Pancasila


Liputan6.com, Jakarta Di hadapan ratusan mahasiswa Universitas Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara, 8 Desember 2016, Wakil Ketua MPR E.E. Mangindaan mengungkapkan tantangan kebangsaan yang muncul.
Dikatakan, saat ini adanya kelemahan dalam pemahaman dan sempitnya pemaknaan keagamaan sehingga muncul rasa ekstrimis atau radikal. "radikalisme terjadi di semua agama," ujarnya. Radikalisme disebut mengganggu terhadap pemahaman Pancasila.
Tantangan kebangsaan yang lain adalah pengabaian kepentingan daerah serta fanatisme kedaerahan. dalam Pilkada, fanatisme kedaerahan ini muncul. sikap primodialisme terjadi. Seolah-olah yang bisa jadi kepala daerah hanya putra asli daerah. Menurut Mangindaan, hal ini mengganggu kebhinekaan."kurangnya penghargaan terhadap kebhinnekaan muncul saat-saat ini," ujarnya.
Lebih lanjut dikatakan oleh Mangindaan, tantangan kebangsaan juga muncul dari penguasa yang sewenang-wenang. "ketika jadi pemimpin seolah semua menjadi milihnya," ujarnya. diingatkan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat. untuk itu keadilan hukum harus ditegakkan.
Kesenjangan sosial menurut Mangindaan juga merupakan salah satu tantangan kebangsaan. saat ini diakui ada kemiskinan dan pengangguran. Diungkapkan dalam sebuah sosialisasi, pemateri setengah mati membicarakan Pancasila. kemudian ada mahasiswa yang nyeletuk, orang miskin apa masih perlu Pancasila.
Mendapat ungkapan yang demikian, menurut Mangindaan suatu hal yang susah untuk menjawabnya. "susah memberi sosialisasi di tengah kemiskinan," ungkapnya. Meski demikian menurut Mangindaan, kita tak boleh putus asa dalam mensosialisasikan Pancasila.

Source : Liputan6.com

Silaturahmi dengan Komunitas Konghucu, Agus Yudhoyono Diminta Jaga Pancasila

Foto: Agus Yudhoyono silaturahmi dengan komunitas Konghucu (Bisma Alief/detikcom)


Jakarta - Cagub DKI nomor urut 1 Agus Harimurti Yudhoyono mengadakan silaturahmi dengan Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN). Dalam pertemuan itu, Agus dititipi pesan untuk menjaga Pancasila.

Pertemuan digelar di Klenteng Kong Miao, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur, Senin (12/12/2016). Ada yang berbeda dengan baju Agus saat tiba di klenteng tersebut. Agus yang biasanya mengenakan baju 'tacticool' penuh dengan berbagai atribut, kini hanya tersisa tulisan 'Indonesia' dan bendera merah putih di lengan kanan Agus.

Dalam sambutannya di depan puluhan umat Konghucu yang hadir, Agus menyatakan akan menghormati dan mengayomi seluruh perbedaan agama dan etnik yang ada di Indonesia, khususnya di Jakarta. 

"Salam hormat dari kedua orangtua saya, beliau selama 10 tahun menjadi bagian dari umat Konghucu, untuk mendapat hak-haknya di Indonesia," kata Agus.

"Saya mau mengayomi semua. Kita hormati segala perbedaan dan Bhinneka Tunggal Ika. Bagi saya pribadi, persatuan, perbedaan dan kebhinnekaan yang membuat kita kuat dan kaya. Jangan cari perbedaan tapi persamaan untuk kemanuasiaan dan kemajuan negeri kita," lanjutnya.

Sementara itu, Ketua Umum MATAKIN Pusat, Uung Sendana menitipkan satu pesan pada Agus. Agus diminta untuk selalu menjaga Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Karena kedua hal tersebut yang membuat Indonesia aman hingga sekarang.

"Harapan saya pada Mas Agus adalah kalau jadi pejabat, kita titipkan Pancasila. Kalau pemimpin memegang Pancasila dan kebhinnekaan akan membuat negara aman. Jangan lagi bicara minoritas dan mayoritas," kata Uung.

"Kalau bisa, bangun 6 rumah ibadah bersebelahan, sebagai bentuk pemimpin yang mengayomi semua agama dan etnis," lanjutnya.

Di akhir pertemuan, Agus dihadiahi sebuah buku tentang kepemimpinan dan nasihat. Buku tersebut berjudul 'Kearifan Sepotong Krupuk'. 

Source : Detik.com

Pancasila Hanya Dapat Diubah dengan Cara Makar

Ahmad Basarah menyelidiki kedudukan Pancasila yang lahir tanggal 1 Juni 1945.

INFO MPR - Ahmad Basarah (Ketua Fraksi PDI Perjuangan MPR RI dan Wakil Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan) pada 10 Desember 2016 menjalani Sidang Promosi Doktor di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

Disertasi Basarah juga menyatakan tidak ada mekanisme hukum apa pun untuk dapat mengubah Pancasila, kecuali melakukan revolusi dan membubarkan negara atau dengan cara makar terhadap ideologi negara Pancasila. Lembaga MPR sebagai pembentuk konstitusi (constitution maker) sekalipun, tidak dapat mengganti Pancasila, karena kewenangan MPR menurut Pasal 3 ayat (1) UUD 1945 hanyalah “mengubah dan menetapkan UUD”, sementara kedudukan Pancasila berada di atas UUD.

Dalam doktrin ilmu hukum, menurut Teori Hukum Murni (pure theory of law) yang disampaikan Hans Kelsen, Pancasila merupakan norma dasar (grundnorm). Ciri grundnorm adalah dalam konteks terjadinya ditentukan oleh pembentuk negara pertama kalinya, kemudian terjelma dalam suatu bentuk pernyataan lahir (ijab kabul) sebagai penjelmaan kehendak pembentuk negara untuk menjadikan hal-hal tertentu sebagai dasar negara yang dibentuk. Dalam hal isinya, memuat dasar-dasar negara yang dibentuk, cita-cita kerohanian, cita-cita politik dan cita-cita negara lainnya dan memuat ketentuan yang memberikan bentuk pada hukum positif. Dengan ciri Pancasila yang tidak dapat diubah tersebut maka mengganti dasar dan ideologi Pancasila berarti sama dengan membubarkan negara proklamasi 17 Agustus 1945.

Adapun rekomendasi dalam disertasi ini, di antaranya adalah  MK,  dalam menjalankan wewenangnya seharusnya tidak hanya sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution), melainkan MK seharusnya juga berfungsi sebagai pengawal ideologi negara (the guardian of the ideology), yakni Pancasila. Sebagai konsekuensi kedudukan sebagai pengawal ideologi negara maka dalam mengadili suatu perkara, pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 MK, selain mendasarkan pada pasal-pasal UUD 1945, seharusnya juga mendasarkan pada Pancasila sebagai tolok ukur kehidupan

Rekomendasi lainnya adalah pentingnya pemerintah sebagai pemegang otoritas kekuasaan eksekutif perlu untuk membuat panduan atau pedoman sebagai dokumen resmi dalam menafsirkan dan memahami sila-sila Pancasila yang bersumber dari dokumen otentik pidato Pancasila 1 Juni 1945. Hal tersebut penting sebagai tindak lanjut dikeluarkannya Keppres No. 24 Tahun 2016 yang telah menetapkan 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila, agar dokumen tersebut dapat digunakan oleh para hakim MK, DPR bersama Pemerintah dalam pembentukan undang-undang, DPRD bersama Kepala Daerah dalam pembentukan peraturan daerah, maupun penyelenggara negara lainnya.

Panduan atau pedoman resmi tentang Pancasila tersebut juga dimaksudkan agar segenap komponen bangsa tidak memaknai Pancasila sesuai dengan selera dan kepentingannya masing-masing yang bersifat perseorangan, kelompok, maupun golongan. 

Disertasi Basarah juga menyatakan bahwa posisi dan kedudukan hukum Pancasila bukanlah terletak di dalam Pembukaan UUD 1945. Karena, hal itu berarti menempatkan posisi Pancasila bukan hanya sejajar dengan UUD tetapi justru menjadi bagian dari UUD. Padahal, posisi dan kedudukan hukum Pancasila adalah sebagai norma dasar (grundnorm) yang sifatnya meta legal dan berada di atas UUD.



Dengan demikian, pandangan yang selama ini mengatakan bahwa Pancasila lahir pada tanggal 18 Agustus 1945 karena Pancasila ditempatkan dalam pembukaan UUD 1945 adalah pandangan yang tidak tepat. Hal ini juga didukung fakta-fakta sebagai berikut:



1. PPKI tanggal 18 Agustus 1945 tidak pernah menetapkan Pancasila sebagai dasar Negara;

2. PPKI tanggal 18 Agustus 1945 hanya menetapkan dua hal, yaitu;


2.1 Verifikasi UUD 1945

2.2 Mengangkat Soekarno dan Hatta sebagai Presiden dan Wakil  Presiden untuk pertama kalinya.

3. Telah dikeluarkannya Keppres nomor 18 tahun 2008 tentang penetapan tanggal 18 Agustus 1945 sebagai Hari Konsitusi.

4. Apabila Pancasila dinyatakan ada di dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, maka sebenarnya sebagai dasar negara, Pancasila pernah mengalami perubahan, karena ketika UUD 1945 diganti dengan Konstitusi RIS pada tahun 1949 dan kemudian Konstitusi RIS 1949* diganti dengan UUD Sementara pada tahun 1950. Rumusan sila-sila Pancasila yang terdapat di dalam pembukaan dua UUD tersebut telah berbeda dengan rumusan sila-sila Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945.  Padahal sesuai dengan teori hukum murni yang disampaikan oleh Hans Kelsen bahwa norma dasar (grundnorm) merupakan sesuatu yang dikehendaki yang bersumber dari keinginan rakyat melalui para pendiri bangsa. Oleh karena merupakan kehendak bersama, maka grundnorm tidak dapat berubah-ubah dan bersifat mengharuskan.

5. Terdapat fakta hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan Aturan Tambahan Pasal II UUD 1945 yang berbunyi “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal”. Maka jelaslah bahwa sila-sila Pancasila sebagaimana termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 tersebut adalah bagian dari UUD. Sementara, posisi Pancasila sebagai norma dasar atau grundnorm yang bersifat meta legal, kedudukannya berada di atas UUD.

6. Terdapat fakta Putusan MK Nomor 100/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik yang pada intinya MK menyatakan bahwa Pancasila sebagai dasar negara kedudukannya tidak bisa disejajarkan dengan UUD 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika*, yang oleh Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Partai Politik disebut sebagai empat pilar berbangsa dan bernegara. Menurut MK, Pancasila memiliki kedudukan yang tersendiri dalam kerangka pikir bangsa dan negara Indonesia berdasarkan konstitusi yaitu di samping sebagai dasar negara, juga sebagai filosofi negara, norma fundamental negara, ideologi negara, cita hukum* negara, dan sebagainya. Oleh karena itu, menurut MK menempatkan Pancasila sebagai salah satu pilar yang sejajar dengan UUD 1945 dapat mengaburkan posisi Pancasila dalam makna yang demikian itu. 

Sumber : Tempo.co

Pancasila Harus Jadi Tolok Ukur Kehidupan


Semarang – Seluruh kader dan alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) sepatutnya memiliki komitmen kuat membumikan Pancasila. Selain itu, Pancasila juga harus dijadikan tolok ukur kehidupan.
Demikian disampaikan Ketua Dewan Pakar DPP Persatuan Alumni GMNI (PA GMNI) Theo L Sambuaga seusai menghadiri Ujian Promosi Doktor Ahmad Basarah di Fakultas Hukum (FH) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (10/12).
“Kader-kader GMNI dan alumni harus punya komitmen yang kuat dan terus ditingkatkan, bukan saja sosialisasikan, memasyarakatkan, tapi menjadikan Pancasila tolok ukur kehidupan kita dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,” kata Theo.
Dia menyatakan, Pancasila mesti dielaborasi dan diturunkan sampai ke pembentukan perundang-undangan, termasuk peraturan daerah (perda). “Generasi sekarang, di mana pun kader-kader GMNI berkiprah baik di legislatif dan eksekutif, betul-betul berjuang saat membuat undang-undang, kebijakan serta perda patokannya Pancasila,” tegasnya.
“Kalau undang-undang lahir menyimpang dari prinsip-prinsip nilai-nilai Pancasila, itu jelas tidak akan bisa mendukung kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pancasila harus jadi patokan kita sebagai NKRI.”

Sumber : Beritasatu.com

Tahun Depan, Asrama Pancasila Pekanbaru yang Terbakar Segera Dibangun

Pangdam I Bukit Barisan Mayjen TNI Lodewyk Pusung melihat bangunan yang terbakar di Asrama Pancasila, Pekanbaru, Riau, Senin (12/12/2016). 

TRIBUNNEWS.COM, PEKANBARU - Sepuluh unit rumah Asrama Pancasila milik TNI AD di Jalan Sutomo, Pekanbaru, yang terbakar segera dibangun tahun depan.
Kepastian itu disampaikan Pangdam I Bukit Barisan Mayjen TNI Lodewyk Pusung di sela kunjungannya ke Pekanbaru, Riau, Senin (12/12/2016).
"Paling lama Januari tahun depan akan kita bangun," ujar Pangdam di lokasi.
Dikatakannya, spesifikasi bangunan akan disesuaikan dan seluruh instalasi listrik juga akan diperbaharui.
"Bangunan asrama adalah bangunan tua. Jadi perlu dilakukan pengecekan kabel-kabel. Kalau ada yang terkelupas itu sangat bahaya," ucap dia.
Selain merencanakan pembangunan, pihaknya juga memberikan bantuan kepada personel yang tertimpa musibah, di antaranya sembako, perabotan dan kebutuhan pakaian dinas.
Dokumen personel yang terbakar juga akan diurus kembali. Sepuluh unit rumah dinas di Asrama Pancasila terbakar diduga karena arus pendek pada Jumat (9/12/2016).
Penghuni asrama tidak bisa berbuat banyak sehingga hampir seluruh perabotan dan barang ikut terbakar.
Penulis: Budi Rahmat
Editor: Y Gustama
Editor Blogger : Ricky Nathaniel

Penghayatan Sila ke- 4 oleh BEM Universitas Multimedia Nusantara

Sumber : https://www.instagram.com/p/BNzPeARjFH2/

Jumat, 9 Desember 2016


Pertanggungjawaban kerja secara transparan sudah di bukakan oleh BEM Gen 6 pada Forum LPJ BEM Gen 6

Sumber : https://www.instagram.com/p/BN1ClEyjx9i/


Sabtu, 10 Desember 2016

Sedang dilaksanakan sidang program kerja BEM. Dimana BEM sedang menjelaskan program kerjanya selama 1 tahun kedepan kepada DKBM.

Source : Instagram (@bemumn)
Editor : Ricky Nathaniel

Selasa, 13 Desember 2016

Opinion : How successful has the Pancasila principle been in securing a degree of pluralism in Indonesia?


This is indeed an interesting question.
For background, Pancasila was formulated by Soekarno, and considered as the foundation of Indonesia, another words, if you want to change Pancasila, this means that you want to revolt against Indonesia.

A big No - No.
Little background about Pancasila :

Sukarno formulated his ideological thinking developed for the past twenty years into five principles. On 1 June 1945, he introduced these five principles, known as Pancasila, during the joint session of BPUPKI held in the former Volksraad Building (now called Gedung Pancasila).

Pancasila as presented by Sukarno during the BPUPKI speech, consisted of five common principles which Sukarno saw as commonly shared by all Indonesians:

1. Nationalism, whereby a united Indonesian state would stretch from Sabang to Merauke, encompassing all former Dutch East Indies

2. Internationalism, meaning Indonesia is to appreciate human rights and contribute to world peace, and should not fall into chauvinistic fascism such as displayed by Naziswith their belief in the racial superiority of Aryans

3. Democracy, which Sukarno believed has always been in the blood of Indonesians through the practice of consensus-seeking (musyawarah untuk mufakat), an Indonesian-style democracy different from Western-style liberalism

4. Social justice, a form of populist socialism in economics with Marxist-style opposition to free capitalism. Social justice also intended to provide equal share of the economy to all Indonesians, as opposed to the complete economic domination by the Dutch and Chinese during the colonial period

5. Belief in God, whereby all religions are treated equally and have religious freedom. Sukarno saw Indonesians as spiritual and religious people, but in essence tolerant towards differing religious beliefs.

On 22 June, the Islamic and nationalist elements of BPUPKI created a small committee of nine, which formulated Sukarno's ideas into the five-point Pancasila, in a document known as the Jakarta Charter:

1. Belief in one and only Almighty God with obligation for Muslims to adhere to Islamic law
2. Civilised and just humanity
3. Unity of Indonesia
4. Democracy through inner wisdom and representative consensus-building
5. Social justice for all Indonesians

Even thought Pancasila can be widely interpreted  (Sukarno and Suharto shows different interpretation of  Pancasila ) and sometimes vague, Pancasila is held dear by Indonesian.
Pancasila unite and at the same time divide Indonesian.

I guess Pancasila plays 2 part in securing a degree of Pluralism :

1. Protect religious diversity while at the same time attack atheism and communism
For example, 

regarding religious activities, I see Indonesian quite successful in nurturing religious diversity, the minor religion still have room to breath and doing their religious activities.
This is partly because the first point of Pancasila, Belief in one and only Almighty God.
However, for atheist who lives in Indonesia, it will be hard to get their rights in Indonesia, also because the first point of Pancasila, which indicates that every person in Indonesia should believe in God.

Indonesia Communist Massacre in 1960s is the prove of how bad Pancasila can be. At that time communist seen as not believing in God, and want to change Pancasila as the foundation of Indonesia, the revolt failed, and the results, around 300,000 to 3 million people, who considered as communists were massacred, killed.

Take a look at The Act of Killing (2012) by Joshua Oppenheimer for this.

2. Protect Indonesian as Unitary States

As good as it is sounds, it is also as bad as it is sounds.
Indonesia succeed as Unitary States, a big achievement when you consider our nation size and diversity, imagine what should someone do to unite more than 6,000 inhabited islands.
Few province in Indonesia, who are not as favored as Java, such as Aceh, Timor - Timur, Papua has try to separate themselves from Indonesia. Pancasila justify our military act against them, condemn them as an act of revolt and treachery.

I believe there are many sad story of military oppression happens, but this same military act also what make Indonesia still a Unitary States.

I guess we succeed in implementing the first and the third sila.
1. Belief in one and only Almighty God with obligation for Muslims to adhere to Islamic law
2. Civilised and just humanity
3. Unity of Indonesia
4. Democracy through inner wisdom and representative consensus-building
5. Social justice for all Indonesians

For the second, fourth and fifth Sila, we still had a lot of works to do.
An interesting point is the fourth Sila, which become the foundation of Indonesian Politics system. Interestingly, Indonesia has try so many system, from parliamentary to presidential system.
Another important point, Inner Wisdom, also indicates it is not pure democracy, if democracy means the one with the most votes (majority) wins, inner wisdom can be interpreted as looking for the "middle way" sometimes Indonesian will argue for hours and hours or days or weeks, to solve a problem, this results in Indonesian culture who discuss a lot but do a little, often called as NATO (No Actions Talks Only).

An excerpt of Indonesian Politic System :

1945 - 1949 : Sukarno & Hatta chosen as President, due to the turmoil, I have no idea about the legislative in this era.

1949 - 1950 : United States of Indonesia (Indonesia as Federal Country) with parliamentary system

1950 - 1955 : Republic of Indonesia (Unitary Country) with parliamentary system and Prime Minister, however Sukarno as the President still holds a lot of power at this moment

1956-1959 : Guided Democracy, (Claiming Western-style democracy was unsuitable for Indonesia, he called for a system of "guided democracy." ). Still parliamentary, however in this time Sukarno have all the power

1959-1966 : Back to 1945 constitution (Presidential system) which means Sukarno's power-up. (On March 1960, Sukarno disbanded parliament and replaced it with a new parliament where half the members were appointed by the president (Dewan Perwakilan Rakjat – Gotong Rojong / DPR-GR). On September 1960, he established a Provisional People's Consultative Assembly (Madjelis Permusjawaratan Rakjat Sementara/MPRS) as the highest legislative authority according to the 1945 constitution. MPRS members consisted of members of DPR-GR and members of "functional groups" appointed by the president) So Sukarno held power as executive and legislative at the same time, he also appointed as President for life.

1966-1998 : Pancasila Democracy, people chose one of three parties (Golkar - the government ; PPP - the islamist ; PDI - the nationalist & opposition) the party will chose their representatives in legislative (MPR) and then MPR will chose the president a.k.a Suharto

1998-2004 : Now we see many political parties in Indonesia, the president was chosen by the parliament (Abdurrahman Wahid). Also we see change of power in Indonesia region. If during the new order, the regional head was chosen by the central government, now the regional head was chosen through direct elections. This gives birth to Indonesia's best children such as : Basuki Tjahaja Purnama ; Tri_Rismaharini . But also at the same time gives power to the most corrupt people such as Ratu Atut Chosiyah

2004 - 2014 : President chosen through direct election, this results in Susilo Bambang Yudhoyono chosen as the President

2014 - now : recent changes resulting in the regional head will be chosen by DPRD (Regional Parliementary) instead directly chosen by the people
For second and fifth Sila :
Civilised and just humanity
Social justice for all Indonesians
We still had a long way to go.

Written by : Ivan Gautama
Edited by : Ricky Nathaniel
Source : Quora.com

Kasus Dugaan Penghinaan Pancasila oleh Habib Rizieq Dilimpahkan ke Polda Jabar


Jakarta - Bareskrim Polri melimpahkan kasus dugaan penghinaan agama oleh Habib Rizieq ke Polda Jawa Barat. Habib Rizieq sebelumnya dilaporkan oleh Sukmawati Soekarnoputri.

"Iya benar, dua hari lalu dilimpahkan ke Polda Jabar," kata Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Martinus Sitompul saat dihubungi detikcom, Selasa (22/11/2016).

Martinus menjelaskan, kasus ini dilimpahkan karena locus delicti kejadian itu ada di wilayah Jawa Barat.

"Karena (Habib Rizieq) mengucapkan (kalimat yang dituduhkan) itu disampaikan saat di wilayah Jabar," ujarnya.

Sukmawati melaporkan Habib Rizieq ke Bareskrim Polri, Kamis (27/10) dan meminta polisi memanggil Habib Rizieq untuk memberikan klarifikasi.

"Saya datang sebagai Ketua Umum PNI Marhaenisme melaporkan Habib Rizieq Ketua FPI perihal penodaan terhadap lambang dan dasar negara Pancasila, serta menghina kehormatan martabat Dr. Ir Soekarno sebagai Proklamator kemerdekaan Indonesia dan Presiden pertama Republik Indonesia," kata Sukmawati Soekarno di Bareskrim Polri di Gedung KKP Bahari II, Jalan Merdeka Timur, Jakarta Pusat, Kamis (27/10).

Dalam video, disebutkan Sukmawati, Habib Rizieq yang juga merupakan Imam Besar FPI itu menyatakan 'Pancasila Sukarno Ketuhanan ada di Pantat sedangkan Pancasila Piagam Jakarta Ketuhanan ada di Kepala'.

FPI sendiri menilai pelaporan Sukmawati merupakan bentuk pengalihan isu. Menurut Jubir FPI Munarman, laporan tersebut tidak memenuhi unsur pidana.


"Secara teknis hukum itu laporan tidak bisa memenuhi unsur pidana. Karena pasal-pasal yang dijadikan laporan itu tidak sesuai untuk peristiwa yang dilaporkan," ujar Jubir FPI Munarman ketika dikonfirmasi, Kamis (27/10).

Edited by : Nathania Callista

Rabu, 07 Desember 2016

Thousands rally in Indonesia to celebrate diversity (412)

Indonesian people shout slogans as they attend a pro-government rally to call for unity in Jakarta on Dec 4, 2016. PHOTO: AFP

JAKARTA - Thousands gathered along the main thoroughfare in downtown Jakarta during the capital's weekly Car-Free-Sunday (Dec 4) to celebrate Indonesia's diversity.
The Kita Indonesia or "We are Indonesia" event, comes just two days after half a million Muslims took part in a mass prayer in the grounds of the National Monument, as part of a protest against Jakarta governor Basuki Tjahaja Purnama for blasphemy.
Golkar and NasDem parties, however, denied that they organised the Sunday event to "counter" Friday's protest, saying it was held to promote tolerance in the country instead.
"We want to remind the public that we are a pluralistic nation and encourage (the) public and political figures not to disseminate hatred," NasDem executive Taufik Basari told The Jakarta Post on Sunday.
Mr Basuki, better known as Ahok, is a Chinese-Christian politician running for re-election but now faces charges for insulting Islam.
The 50-year-old is a close ally of President Joko Widodo and his re-election bid is backed by the ruling Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P), Golkar, NasDem and Hanura parties.
No official count of the attendance for Sunday's event was available, but organisers had expected half a million to participate in the rally which took place from 8am to 11am during the weekly car-free day, when a 5km stretch of road from Jalan Jenderal Sudirman and Jalan M. H. Thamrin, is closed to traffic.
Thousands, including people from outside Jakarta were spotted at the event on Sunday. They were heard chanting pro-Ahok slogans, sang songs, took group photos and were treated to cultural performances by groups from Bali, North Sumatra, East Kalimantan as well as elsewhere in Java.
The event went on peacefully and crowds promptly dispersed just before roads were re-opened to traffic when the car-free period ended at 11am.
The anti-Ahok protest on Friday - the third in as many months organised by hardline Muslim groups against him, has turned next February's gubernatorial election into a test of racial and religious tolerance in the Muslim-majority country.
Mr Joko had hinted after the second protest on Nov 4 that "political actors" were using these rallies against Mr Basuki to destabilise the country.
The police said on Saturday that they have thwarted a plot to oust Mr Joko, and arrested 11 people, including Ms Rachmawati Sukarnoputri, a daughter of Indonesia's founding president Sukarno, over an alleged conspiracy to topple the government during Friday's protest.
Investigations into the attempted coup are still ongoing.

Source : straitstimes.com

Mendagri: Pemerintah Siapkan Sanksi Ormas Anti-Pancasila


Jakarta - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan, pemerintah tengah menyiapkan sanksi terhadap organisasi masyarakat (ormas) yang tidak bernafaskan Pancasila alias antipancasila.
"Kalau ada organisasi yang menolak Pancasila, itu proses dan mekanismenya kalau mengikuti UU yang sekarang ini ada proses peringatan proses pengadilan sampai keputusan MA (Mahkamah Agung). Saya kira pemerintah akan mencoba, mungkin penerapan sanksi dalam tanda kutip di ormas-ormas yang melanggar Undang-undang dan aturan yang ada," ungkap Tjahjo di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Selasa (6/12/2016).

Intinya, kata dia, pemerintah tidak melarang dengan ada banyaknya ormas baik di tingkat kabupaten, kota, atau provinsi. Tetapi seharusnya undang-undang yang ada soal ormas, mengatur soal kebebasannya.
"Saya kira pemerintah mempunyai kewenangan memberikan keleluasaan masyarakat untuk membentuk ormas, tetapi juga seharusnya dengan UU yang ada diberikan kewenangan untuk memberikan peringatan kalau ada ormas yang antipancasila, memberikan sanksi kalau melanggar ketertiban," ucap dia.
"Karena kalau mendaftar (ormas anti-Pancasila) asetnya itu aset Pancasila semua. Apalagi sekarang sudah pakai sistem online. Tapi kami tidak menghalangi masyarakat, UU ini perlu disinkronkan sama juga dengan UU teroris baru bisa aparat bertindak kalau bom sudah meledak, kalau sudah ada korban kan ini tidak fair," beber Tjahjo.
Sebelumnya, Pemerintah berencana merevisi Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) Nomor 17 Tahun 2013. Tujuannya, agar sesuai perkembangan zaman dalam mengantisipasi ormas yang bertentangan dengan Pancasila.
"Nanti coba kita revisi apakah undang-undang ini sudah sesuai dengan kondisi sekarang apa belum. Kalau belum, memang ini kita coba masukkan ke revisi, kalau memang ada hal yang belum sesuai dengan kondisi sekarang," kata Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Soedarmo.

Sumber : Liputan6

Pancasila sebagai "The Way of Life"

Ketua Yayasan UTA 45 Rudyono Darsono (Dok. UTA 45)
Sebagai orang yang mempelajari politik luar negeri Amerika, ada rasa khawatir dalam diri saya. Sebagai sebuah negara besar berpenduduk mayoritas muslim akan sangat rentan dengan politik agitasi dari negara adikuasa lainnya yang saat ini sangat memusuhi masyarakat Muslim yang dianggap sebagai sebagai sumber kekerasan.
Dan ini, akan sangat mungkin juga dilakukan politik belah bambu terhadap negara Indonesia dengan memasukkan unsur-unsur Timur Tengah ke dalam setiap kegiatan atau aksi demo. Dengan memasukkan unsur kekerasan di dalamnya. Indonesia, sebuah negara besar, tanpa aliansi yang kokoh dengan negara manapun, akan sangat mudah diprovokasi dengan isu agama dan keyakinan, yang memang menjadi titik lemah dari sifat manusia yang selalu merasa hebat dan kuat, apabila punya kekuatan yang lebih dari yang lain.
Oleh karena itupula para pendiri bangsa ini mendeklarasikan Pancasila sebagai jalan keluarnya yaitu untuk menyelaraskan atau menyamakan persepsi para penyelenggara negara. Untuk satu tujuan, masyarakat Indonesia yang adil dan sejahtera. Saya sebagai pimpinan sebuah perguruan tinggi nasionalis di Indonesia bersama dengan keluarga besar kampus, mengajak para penyelenggara negara dan masyarakat untuk ikut ambil bagian dalam mengkampanyekan penegakan Pancasila.
Karena Pancasila adalah satu-satunya alat perekat bangsa Indonesia yang sudah dipersiapkan oleh para pendiri bangsa kita, namun saat ini sangat diabaikan. Masing-masing selalu berbicara dengan kekuatan dan kesombongannya sendiri. Inilah yang membuat bangsa kita tidak pernah tenteram dan damai. Perekat bangsa itu bukan TNI apalagi Polisi. Mereka adalah alat negara sebagai petugas pertahanan dan peamanan yang menjaga ketertiban umum. Menjaga perilaku dan tingkah laku masyarakat secara umum dan menjaga negara dari intervensi bersenjata pihak asing.
Indonesia sebagai negara besar dengan demokrasi yang masih sangat lemah, ditambah dengan keberagaman yang sangat tinggi, maka seharusnya dapat berpikir bijak tentang masalah keamanan yang baik. Dengan semangat Bhineka Tungggal Ika, TNI juga seharusnya dapat dimanfaatkan keberadaannya untuk kemaslahatan bangsa, yaitu sebagai penyeimbang keberadaan kepolisian dalam menjalankan tugas keamanan.
Dengan satu ilustrasi positif, bahwa keberadaan satu kekuatan apalagi bersenjata, yang berkuasa secara absolut, dapat dipastikan kecurangan dan kejahatan akan timbul dari dalam kekuatan itu sendiri baik disadari ataupun tidak, baik diingini maupun tidak. Tapi kekuasaan absolut cenderung korup. Maka dapat diharapkan dengan adanya TNI sebagai pendamping, negara dan bangsa akan mempunyai keseimbangan yang lebih baik dalam masalah keamanan dalam negeri atau keamanan dan kenyamanan bangsa Indonesia, sehinggga Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa dapat lebih diharapkan akan berfungsi lagi dengan baik.
Kalau Pancasila diamalkan,rakyat diperlakukan dengan adil dan beradap sehingga bisa hidup sejahtera. Saya yakin, 80% persoalan bangsa tentang masalah negara tidak lagi menjadi isu yang dapat menggerakkan atau mengadudomba masyarakat umum. Kalau penegakan hukum dapat dibersihkan, 80% masalah korupsi selesai. Dampaknya pasti sangat luas dan besar untuk kesejahteraan rakyat. Karena pembangunan dan dana kesejahteraan akan melimpah. Rasa keadilan yang selama ini dipendam hingga disebagian masyarakat sudah berwujud Dendam kepada penegak hukum, otomatis akan terselesaikan.
Sebenarnya masih banyak lagi cara yang dapat digunakan untuk kembali membangkitkan nasionalisme yang hampir padam, karena gencarnya diajarkan dan jejalinya otak bangsa Indonesia dengan paham kapitalis dan libelaris. Kalau kita mau jujur, bangsa kita belum siap untuk itu. 
Misalnya dengan mengintensifkan dan menghidupkan kembali kegiatan bela negara secara masif untuk generasi muda Indonesia. Namun, sepertinya kita dikelilingi para penguasa yang malu-malu kucing dan kadang-kadang malui-maluin dimana Pancasila hanya dijadikan tameng politik.
Berbeda dengan negara Tiongkok yang dengan tegas melakukan perbaikan sistem politiknya dengan melakukan politik tirai bambu dan Jepang dengan Restorasi Meiji.  Sistem politik Indonesia tidak dibangun untuk mencintai produk dalam negeri dan terutama Koperasi sebagai soko guru akan tetapi lebih pada character building tanpa embel-embel, nasionalnya. Maka, lengkaplah sudah era Kapitalis dan Liberalis menguasai hajat hidup bangsa Indonesia.
UTA45 Jakarta (Universitas 17 Agustus 1945, Jakarta) telah menjadikan Pancasila sebagai Way of Life dalam kehidupan kampus untuk tetap menjaga Pancasila sebagai lentera bangsa, tidak boleh padam dan tetap menyala menerangi kehidupan bangsa dan negara Indonesia.





Penulis : Rudyono Darsono
Sumber : Netralnews.com